“Apa Dok???
Anak saya cacat???” kata Risca dan Dharma berbarengan. “Iya, Pak, Bu!! Putri
ibu terlahir tidak sempurna” kata Dokter Herman dengan sedikit tertahan. Risca tak
percaya, dia menyuruh suaminya untuk menemani melihat bayinya. Tiba di ruang
bayi, airmata Risca dan Dharma menetes, di dalam sebuah inkubator, seorang bayi
mungil terbaring lemah, satu tangan bayi itu buntung. “Tidaaakkk, aku tak mau
merawat bayi itu, Mas, melihatnya saja aku jijik, apalagi menyentuhnya” kata
Risca di sela isak tangisnya. Dharma terdiam, hatinya kacau, betapa malunya dia
memiliki anak cacat, apa kata client bisnisnya nanti bila mereka tahu anaknya
cacat.
Seminggu
kemudian, Dharma terlihat bicara serius di ruang keluarga. Di hadapannya
berdiri Narsih, pembantunya. Di gendongan Narsih seorang bayi mungil menggeliat
lemah. “Aku minta bibi bunuh anak ini, setelah tugasmu membunuhnya selesai,
pergi jauh-jauh dari kota ini dan jangan pernah kembali kesini lagi!!! Ini uang
pesangon untuk bibi, dan ingat jangan pernah menginjakkan kaki di rumah ini
lagi!!” kata Dharma dengan keras. “Tapi Tuan, Nyonya, non ini kan putri kalian,
darah daging kalian, kenapa di bunuh???” Narsih berusaha menghindari tugas
penuh dosa itu. “Kalau bibi tak mau menjalankan tugas, biar aku akan carikan
pembunuh bayaran yang lain” Risca ikut menimpali dengan emosi. “Jangan Nyonya,
biar saya yang melakukannya” Narsih terbata dengan airmata berlinang. “Permisi,
Tuan, Nyonya, saya pamit!!” Narsih beranjak pergi sambil menggendong bayi
mungil itu. “Ikut bibi ya Non, bibi akan menjaga Non semasih bibi bernafas.
***
Kini, 15 tahun
telah berlalu, Risca dan Dharma hidup bahagia bersama seorang anak mereka yang
diberi nama Radya. Anak itu terlihat cantik, lemah lembut dan sopan.
Sementara itu,
di sebuah rumah sederhana di pinggiran kota, terlihat seorang anak gadis
berusia kira-kira 15 tahun tengah asik membantu ibunya menyiapkan dagangan.
Tangan kirinya begitu cekatan bekerja, tapi ada yang terlihat janggal, tangan
kanan anak itu buntung.
“Nirma, tolong
kamu bersihkan sayuran ini ya, ibu mau ke pasar dulu, ada keperluan yang belum
ibu beli!” Narsih memanggil anaknya. Nirma mengiyakan.
Ya, mereka
Narsih dan Nirma. Ketika 15 tahun yang lalu disuruh membunuh anak majikannya,
Narsih tidak melakukannya, dia malah pergi membawa bayi itu dan memulai hidup
baru sambil membuka usaha kecil-kecilan, mengontrak rumah kecil di pinggir kota
dan membesarkan anak malang itu dengan penuh kasih sayang.
***
Waktu berlalu,
usaha kecil-kecilan Narsih berkembang, kini dia berjualan di kantin sebuah
rumah sakit swasta terkenal di kota ini. Dengan penghasilannya itu, Narsih
mampu membiayai sekolah Nirma yang kini telah duduk di bangku kelas I sebuah
SMA negeri ternama. Meskipun cacat, tapi teman-teman sekolah Nirma tak pernah
menganggapnya cacat, mereka menerima Nirma apa adanya, apalagi sahabat
Nirma yang bernama Ririn, seorang model
muda berbakat. Suatu hari Ririn ke rumah untuk mengerjakan tugas sekolah. Saat
itu sudah malam, dan Narsih pun ada di rumah. Sambil sedikit mengobrol, Narsih
bertanya sama Ririn, “Rin, apa kamu tidak malu bersahabat dengan anak ibu???
Dia kan cacat” Narsih berkata. “Waduh, ibu kok bertanyanya begitu? Ya nggak
lah,Bu. Kenapa aku harus malu, Nirma kan orang baik, bukan penjahat.
Ketidaksempurnaan di tubuh Nirma bukan alasan kuat untuk tidak menerima
kehadirannya” Ririn menjawab lembut.
“Seandainya
Ayah dan Bunda kandungnya Nirma memiliki pemikiran yang sama denganmu, Rin,
pasti Nirma akan hidup bergelimang materi, ia tak perlu hidup seperti ini
bareng ibu, kesusahan.”Narsih terlihat menyembunyikan air matanya.
“Ibu ngomong
apa sih??? Aku tak merasa hidup susah kok bersama ibu, aku malahan bahagia
banget, ibu sudah mau ngebesarin aku dan memungutku disaat orang tuaku tak
menginginkan kehadiran aku” Nirma yang tiba-tiba sudah muncul menimpali ucapan
ibu angkatnya.
***
Hari ini,
seperti biasa, sepulang sekolah, Nirma menuju kantin rumah sakit tempat ibunya
berjualan. Dia hendak membantu, tapi baru saja sampai di pelataran parkir, dia
melihat mobil ambulance menurunkan seorang laki-laki paruh baya yang bersimbah
darah. Sepintas Nirma melihat wajah laki-laki itu, memperhatikannya. Mesti agak
samar, Nirma merasa pernah melihatnya, tapi entah dimana.
Nirma meranjak
menuju kantin, tapi sebelum melangkah, dia memandangi sebuah foto yang selalu
menemaninya, Foto kedua orang tuanya.
Nirmapun
melangkah, melanjutkan aktivitasnya membantu sang ibu. Tanpa terasa sore mulai
menjelang, sebelum beranjak pulang, Nirma masuk ke rumah sakit itu. Dia
bertanya pada resepsionis. “Mbak, korban kecelakaan tadi pagi dirawat di ruang
mana ya???” Nirma bertanya. “Sebentar ya, Mbak, saya cari dulu” wanita yang
ditanya tadi menjawab sopan. “Oh, Pak Dharma, beliau dirawat di ruang ICU” dia
kembali menambahkan. “Terima kasih, Mbak” Nirma menjawab dan berlalu dari
hadapan resepsionis itu.
Nirma melangkah
menyusuri lorong rumah sakit menuju ruang ICU, dari kejauhan dia melihat
seorang gadis berusia 10 tahun duduk di depan ruangan itu seorang diri. Nirma
menghampirinya lalu bertanya, “Dik, apa benar ini ruang rawatnya Pak Dharma”.
Gadis yang ditanya menoleh dan akhirnya menjawab, “Iya ini ruang rawatnya Ayah,
tapi ayah saya belum sadarkan diri, keadaannya terlalu parah, ada kerusakan
hebat di ginjalnya, ayah saya hanya bisa sembuh bila beliau mendapatkan donor
ginjal” ucapnya sambil meneteskan air mata
Nirma
menghusap rambut gadis di hadapannya, “Tenang ya dik, adik berdoa saja, moga
Tuhan memberikan kesembuhan buat ayahnya adik. Kalau boleh tahu bundanya adik
ke mana??? Namanya adik siapa?? Tanya Nirma kembali
“Nama saya
Radya, kak. Bunda saya dirumah, sejak kecelakaan 3 tahun lalu bunda saya buta,
kata dokter yang merawat bunda waktu itu, bunda hanya akan bisa melihat bila
ada yang menyumbangkan kornea matanya untuknya” gadis yang bernama Radya tadi
kembali menjawab.
Mendengar itu
semua, perasaan Nirma hancur, ayah dan bundanya berada dalam kesusahan dan
adiknya Radya terlihat begitu sedih. “Kakak tau, apa yang harus kakak lakukan
untuk kalian” bisik Nirma dalam hati.
***
Meskipun
ditentang oleh ibu angkatnya, tapi Nirma tetap bersikeras untuk mendonorkan
ginjalnya untuk Dharma. “Bu, biarkan Nirma menebus kesalahan Nirma pada beliau,
karena kehadiran Nirma di dunia ini telah membuat mereka malu, apalah arti
sebuah ginjal yang Nirma berikan untuk mereka. Tak sebanding dengan rasa malu
yang mereka rasakan gara-gara Nirma” kilah gadis itu
Narsih hanya
bisa ikhlas, menuruti permintaan Nirma. Hari pun berganti Dharma kini sembuh,
Nirma pun sudah kembali bisa beraktivitas, menjalani hari-harinya penuh
keceriaan. Namun tak seorang pun tahu, Nirma mempersiapkan diri menuju ajalnya,
bersiap segala hal, untuk siap melakukan itu dan memberikan kedua kornea
matanya untuk Bundanya.
Hari itu
terlihat cerah, Nirma pagi-pagi sudah membersihkan diri, membantu ibunya yang
hari itu tak berjualan. Entah kenapa, perasaan Narsih tak enak, dia memutuskan
untuk menemani anaknya hari itu. Narsih dan Nirma sarapan bareng di rumah,
bercanda dan tertawa, habis sarapan, Nirma pamit hendak ke rumah Ririn, ada
sesuatu yang mesti dia selesaikan.
Tak seperti
hari biasanya, Nirma sudah kembali ke rumah sebelum pukul 12 siang. Dia
bergegas masuk kamar dan menutup pintu. Narsih yang lagi membersihkan sayuran
di dapur tak sedikitpun curiga.
Detik jam
berlalu cepat, jam 2 siang, tapi Nirma tak jua kundung keluar dari kamar,
narsih mulai curiga. Dia mengetuk kamar anak angkatnya, tapi tak ada jawaban,
Narsih akhirnya membukanya dan betapa terkejutnya Narsih, Nirma telah terkapar
dengan mulut berbusa. Narsih panik, dibantu tetangga dia membawa anaknya
kerumah sakit. Tapi sayang nyawa Nirma tak tertolong.
“Nirmaaa,
kenapa kamu lakukan ini nak??? Apa kurangnya kasih sayang ibu selama ini?? Apa
salah ibu, sayang?? Sehingga kau ambil jalan pintas ini?” Narsih terlihat
hancur, begitu juga Ririn dan semua teman-teman sekolahnya.
Saat menemukan
putrinya lemas, Narsih juga menemukan surat beramplop pink, dan satu surat
penyataan pendonoran kornea yang sudah lengkap dengan tanda tangannya dan juga
nama si penerima donor itu. Hati Narsih semakin pedih, dia tahu Nirma melakukan
ini semua untuk Bundanya ‘Risca’.
***
Kebahagiaan
begitu terlihat menggelayut di muka Radya ketika pihak rumah sakit menelepon
bahwa ada yang mendonorkan korne matanya khusus untuk bundanya.
Risca pun
akhirnya dioperasi, kini seminggu pun telah berlalu. Risca mulai melihat dunia
ini kembali. “Radya, Bunda senang akhirnya bisa melihat lagi” kata Risca yang
siang itu baru selesai mengontrol matanya ke rumah sakit lagi. “Ya, Bunda,
Radya juga senang” Radya berkata manja. “Ayah juga senaaang banget” Dharma
ikutan bicara.
Ketika hendak
menuju parkiran, mata Dharma melihat sosok yang begitu dikenalnya di kantin
rumah sakit. Dharma bergegas menghampirinya diikuti istri dan anaknya. “eh,
Narsih, kenapa kamu masih ada di kota ini??? Mana janjimu untuk pergi dari
sini??? Nanti kalau ketahuan media, saya bisa malu tujuh turunan, kalau semua
tahu apa yang sudah saya lakukan pada bayi menjijikkan itu” Dharma berkata
keras hingga seluruh pengunjung kantin menoleh dan memperhatikan mereka.
“Apa pak???
Malu??? Rasa malu bapak tak sebanding dengan pengorbanan yang sudah putri bapak
lakukan terhadap bapak dan ibu” Narsih pun menjawab tak kalah keras. “maksud
kamu???” Risca menimpali.
“Maksud saya
ini!!” narsih mengeluarkan surat yang selalu dibawanya kemanapun dia pergi.
Tak tau
kenapa, tangan Risca tiba-tiba bergetar saat menerima surat itu. Perlahan dia
membuka amplop itu. Matanya terbelalak, ada poto dirinya dan suaminya di dalam
amplop itu. Ada beberapa lembar kertas juga. Risca dan Dharma membacanya
Selamat pagi Ayah, Bunda, apa kabar?? Maafin Nirma karena
berani muncul di depan kalian. Nirma hanya ingin minta maaf, atas apa yang
sudah Nirma lakuin.
Ayah, Bunda terima kasih karena telah melahirkan Nirma ke
dunia ini, Nirma tahu kelahiran Nirma tak pernah membuat Ayah dan Bunda
bahagia. Kelahiran Nirma Cuma membuat kalian menanggung malu. Tapi jujur saja,
Nirma juga tak pernah ingin terlahir cacat.
Ayah, Bunda, maaf Nirma tak bisa memberikan apa-apa untuk kalian,
Nirma berikan sebuah Ginjal Nirma untuk ayah dan kedua kornea mata Nirma untuk
Bunda. Semoga itu bisa sedikit menebus kesalahan besar yang pernah Nirma
lakuin, berani terlahir ditengah keluarga terpandang seperti keluarga kalian,
itu kesalahan terbesar Nirma.
Ayah, Bunda, terima kasih sekali lagi, karena telah
melahirkan seorang adik yang begitu cantik. Sekali ketemu, Nirma langsung
menyayanginya. Radya cantik persis seperti bunda.
Maaf kalau kepanjangan. Nirma pamit ya Ayah, Bunda dan juga
Radya. Sekarang hidup kalian sudah bebas, kalian tak perlu malu lagi, Nirma
sudah pergi jauh dari muka bumi ini. Tapi sebelum terlambat, Nirma hanya pingin
bilang satu hal, meskipun tubuh Nirma cacat, tapi kasih sayang dan bakti Nirma
untuk Ayah dan Bunda tak pernah cacat.
Selamat tinggal Ayah, Bunda dan Radya. Terima kasih atas
semuanya.
Buat Ibu Narsih, terima kasih atas kasih sayangnya selama
ini, Nirma sayang ibu selamanya.
Love
NRDP
Airmata
berlinang di pipi Risca, Dharma dan juga Radya, kaki Risca lemas, dia minta bi
Narsih mengantarnya ke kuburan Nirma.
Senja turun,
semburat berwarna jingga terlihat sendu di ufuk barat, Narsih dan keluarga
mantan majikannya berjalan menyusuri pekuburan yang begitu luas menuju sebuah
makan yang terlihat masih baru.
Gundukan tanah
itu masih bertabur bunga segar, bertanda setiap hari masih ada yang berkunjung
ke makam itu.
Risca terduduk
lemas diatas makan, dia menatap nama cantik yang tersemat di nisan
“Nirma Risca
Dharma Putri”
Lahir 2
Januari 1997 wafat 5 maret 2012
Mereka semua
tak kuasa menahan tangis, penyesalan besar pun tak ada gunanya. Dharma begitu
hancur begitupun Risca, anak mereka yang mereka anggap begitu menjijikkan
ternyata mampu berbakti dan berkorban nyawa untuknya. Untuk orang tua yang
sudah berniat membunuhnya.
The End
Tidak ada komentar:
Posting Komentar