Senin, 15 Oktober 2012

Ayah, Bunda, Aku menyayangimu, Meskipun kalian tak pernah menginginkan kelahiranku


“Apa Dok??? Anak saya cacat???” kata Risca dan Dharma berbarengan. “Iya, Pak, Bu!! Putri ibu terlahir tidak sempurna” kata Dokter Herman dengan sedikit tertahan. Risca tak percaya, dia menyuruh suaminya untuk menemani melihat bayinya. Tiba di ruang bayi, airmata Risca dan Dharma menetes, di dalam sebuah inkubator, seorang bayi mungil terbaring lemah, satu tangan bayi itu buntung. “Tidaaakkk, aku tak mau merawat bayi itu, Mas, melihatnya saja aku jijik, apalagi menyentuhnya” kata Risca di sela isak tangisnya. Dharma terdiam, hatinya kacau, betapa malunya dia memiliki anak cacat, apa kata client bisnisnya nanti bila mereka tahu anaknya cacat.
Seminggu kemudian, Dharma terlihat bicara serius di ruang keluarga. Di hadapannya berdiri Narsih, pembantunya. Di gendongan Narsih seorang bayi mungil menggeliat lemah. “Aku minta bibi bunuh anak ini, setelah tugasmu membunuhnya selesai, pergi jauh-jauh dari kota ini dan jangan pernah kembali kesini lagi!!! Ini uang pesangon untuk bibi, dan ingat jangan pernah menginjakkan kaki di rumah ini lagi!!” kata Dharma dengan keras. “Tapi Tuan, Nyonya, non ini kan putri kalian, darah daging kalian, kenapa di bunuh???” Narsih berusaha menghindari tugas penuh dosa itu. “Kalau bibi tak mau menjalankan tugas, biar aku akan carikan pembunuh bayaran yang lain” Risca ikut menimpali dengan emosi. “Jangan Nyonya, biar saya yang melakukannya” Narsih terbata dengan airmata berlinang. “Permisi, Tuan, Nyonya, saya pamit!!” Narsih beranjak pergi sambil menggendong bayi mungil itu. “Ikut bibi ya Non, bibi akan menjaga Non semasih bibi bernafas.

***

Kini, 15 tahun telah berlalu, Risca dan Dharma hidup bahagia bersama seorang anak mereka yang diberi nama Radya. Anak itu terlihat cantik, lemah lembut dan sopan.
Sementara itu, di sebuah rumah sederhana di pinggiran kota, terlihat seorang anak gadis berusia kira-kira 15 tahun tengah asik membantu ibunya menyiapkan dagangan. Tangan kirinya begitu cekatan bekerja, tapi ada yang terlihat janggal, tangan kanan anak itu buntung.
“Nirma, tolong kamu bersihkan sayuran ini ya, ibu mau ke pasar dulu, ada keperluan yang belum ibu beli!” Narsih memanggil anaknya. Nirma mengiyakan.
Ya, mereka Narsih dan Nirma. Ketika 15 tahun yang lalu disuruh membunuh anak majikannya, Narsih tidak melakukannya, dia malah pergi membawa bayi itu dan memulai hidup baru sambil membuka usaha kecil-kecilan, mengontrak rumah kecil di pinggir kota dan membesarkan anak malang itu dengan penuh kasih sayang.

***

Waktu berlalu, usaha kecil-kecilan Narsih berkembang, kini dia berjualan di kantin sebuah rumah sakit swasta terkenal di kota ini. Dengan penghasilannya itu, Narsih mampu membiayai sekolah Nirma yang kini telah duduk di bangku kelas I sebuah SMA negeri ternama. Meskipun cacat, tapi teman-teman sekolah Nirma tak pernah menganggapnya cacat, mereka menerima Nirma apa adanya, apalagi sahabat Nirma  yang bernama Ririn, seorang model muda berbakat. Suatu hari Ririn ke rumah untuk mengerjakan tugas sekolah. Saat itu sudah malam, dan Narsih pun ada di rumah. Sambil sedikit mengobrol, Narsih bertanya sama Ririn, “Rin, apa kamu tidak malu bersahabat dengan anak ibu??? Dia kan cacat” Narsih berkata. “Waduh, ibu kok bertanyanya begitu? Ya nggak lah,Bu. Kenapa aku harus malu, Nirma kan orang baik, bukan penjahat. Ketidaksempurnaan di tubuh Nirma bukan alasan kuat untuk tidak menerima kehadirannya” Ririn menjawab lembut.
“Seandainya Ayah dan Bunda kandungnya Nirma memiliki pemikiran yang sama denganmu, Rin, pasti Nirma akan hidup bergelimang materi, ia tak perlu hidup seperti ini bareng ibu, kesusahan.”Narsih terlihat menyembunyikan air matanya.
“Ibu ngomong apa sih??? Aku tak merasa hidup susah kok bersama ibu, aku malahan bahagia banget, ibu sudah mau ngebesarin aku dan memungutku disaat orang tuaku tak menginginkan kehadiran aku” Nirma yang tiba-tiba sudah muncul menimpali ucapan ibu angkatnya.


***

Hari ini, seperti biasa, sepulang sekolah, Nirma menuju kantin rumah sakit tempat ibunya berjualan. Dia hendak membantu, tapi baru saja sampai di pelataran parkir, dia melihat mobil ambulance menurunkan seorang laki-laki paruh baya yang bersimbah darah. Sepintas Nirma melihat wajah laki-laki itu, memperhatikannya. Mesti agak samar, Nirma merasa pernah melihatnya, tapi entah dimana.
Nirma meranjak menuju kantin, tapi sebelum melangkah, dia memandangi sebuah foto yang selalu menemaninya, Foto kedua orang tuanya.
Nirmapun melangkah, melanjutkan aktivitasnya membantu sang ibu. Tanpa terasa sore mulai menjelang, sebelum beranjak pulang, Nirma masuk ke rumah sakit itu. Dia bertanya pada resepsionis. “Mbak, korban kecelakaan tadi pagi dirawat di ruang mana ya???” Nirma bertanya. “Sebentar ya, Mbak, saya cari dulu” wanita yang ditanya tadi menjawab sopan. “Oh, Pak Dharma, beliau dirawat di ruang ICU” dia kembali menambahkan. “Terima kasih, Mbak” Nirma menjawab dan berlalu dari hadapan resepsionis itu.
Nirma melangkah menyusuri lorong rumah sakit menuju ruang ICU, dari kejauhan dia melihat seorang gadis berusia 10 tahun duduk di depan ruangan itu seorang diri. Nirma menghampirinya lalu bertanya, “Dik, apa benar ini ruang rawatnya Pak Dharma”. Gadis yang ditanya menoleh dan akhirnya menjawab, “Iya ini ruang rawatnya Ayah, tapi ayah saya belum sadarkan diri, keadaannya terlalu parah, ada kerusakan hebat di ginjalnya, ayah saya hanya bisa sembuh bila beliau mendapatkan donor ginjal” ucapnya sambil meneteskan air mata
Nirma menghusap rambut gadis di hadapannya, “Tenang ya dik, adik berdoa saja, moga Tuhan memberikan kesembuhan buat ayahnya adik. Kalau boleh tahu bundanya adik ke mana??? Namanya adik siapa?? Tanya Nirma kembali
“Nama saya Radya, kak. Bunda saya dirumah, sejak kecelakaan 3 tahun lalu bunda saya buta, kata dokter yang merawat bunda waktu itu, bunda hanya akan bisa melihat bila ada yang menyumbangkan kornea matanya untuknya” gadis yang bernama Radya tadi kembali menjawab.
Mendengar itu semua, perasaan Nirma hancur, ayah dan bundanya berada dalam kesusahan dan adiknya Radya terlihat begitu sedih. “Kakak tau, apa yang harus kakak lakukan untuk kalian” bisik Nirma dalam hati.

***

Meskipun ditentang oleh ibu angkatnya, tapi Nirma tetap bersikeras untuk mendonorkan ginjalnya untuk Dharma. “Bu, biarkan Nirma menebus kesalahan Nirma pada beliau, karena kehadiran Nirma di dunia ini telah membuat mereka malu, apalah arti sebuah ginjal yang Nirma berikan untuk mereka. Tak sebanding dengan rasa malu yang mereka rasakan gara-gara Nirma” kilah gadis itu
Narsih hanya bisa ikhlas, menuruti permintaan Nirma. Hari pun berganti Dharma kini sembuh, Nirma pun sudah kembali bisa beraktivitas, menjalani hari-harinya penuh keceriaan. Namun tak seorang pun tahu, Nirma mempersiapkan diri menuju ajalnya, bersiap segala hal, untuk siap melakukan itu dan memberikan kedua kornea matanya untuk Bundanya.
Hari itu terlihat cerah, Nirma pagi-pagi sudah membersihkan diri, membantu ibunya yang hari itu tak berjualan. Entah kenapa, perasaan Narsih tak enak, dia memutuskan untuk menemani anaknya hari itu. Narsih dan Nirma sarapan bareng di rumah, bercanda dan tertawa, habis sarapan, Nirma pamit hendak ke rumah Ririn, ada sesuatu yang mesti dia selesaikan.
Tak seperti hari biasanya, Nirma sudah kembali ke rumah sebelum pukul 12 siang. Dia bergegas masuk kamar dan menutup pintu. Narsih yang lagi membersihkan sayuran di dapur tak sedikitpun curiga.
Detik jam berlalu cepat, jam 2 siang, tapi Nirma tak jua kundung keluar dari kamar, narsih mulai curiga. Dia mengetuk kamar anak angkatnya, tapi tak ada jawaban, Narsih akhirnya membukanya dan betapa terkejutnya Narsih, Nirma telah terkapar dengan mulut berbusa. Narsih panik, dibantu tetangga dia membawa anaknya kerumah sakit. Tapi sayang nyawa Nirma tak tertolong.
“Nirmaaa, kenapa kamu lakukan ini nak??? Apa kurangnya kasih sayang ibu selama ini?? Apa salah ibu, sayang?? Sehingga kau ambil jalan pintas ini?” Narsih terlihat hancur, begitu juga Ririn dan semua teman-teman sekolahnya.
Saat menemukan putrinya lemas, Narsih juga menemukan surat beramplop pink, dan satu surat penyataan pendonoran kornea yang sudah lengkap dengan tanda tangannya dan juga nama si penerima donor itu. Hati Narsih semakin pedih, dia tahu Nirma melakukan ini semua untuk Bundanya ‘Risca’.

***

Kebahagiaan begitu terlihat menggelayut di muka Radya ketika pihak rumah sakit menelepon bahwa ada yang mendonorkan korne matanya khusus untuk bundanya.
Risca pun akhirnya dioperasi, kini seminggu pun telah berlalu. Risca mulai melihat dunia ini kembali. “Radya, Bunda senang akhirnya bisa melihat lagi” kata Risca yang siang itu baru selesai mengontrol matanya ke rumah sakit lagi. “Ya, Bunda, Radya juga senang” Radya berkata manja. “Ayah juga senaaang banget” Dharma ikutan bicara.
Ketika hendak menuju parkiran, mata Dharma melihat sosok yang begitu dikenalnya di kantin rumah sakit. Dharma bergegas menghampirinya diikuti istri dan anaknya. “eh, Narsih, kenapa kamu masih ada di kota ini??? Mana janjimu untuk pergi dari sini??? Nanti kalau ketahuan media, saya bisa malu tujuh turunan, kalau semua tahu apa yang sudah saya lakukan pada bayi menjijikkan itu” Dharma berkata keras hingga seluruh pengunjung kantin menoleh dan memperhatikan mereka.
“Apa pak??? Malu??? Rasa malu bapak tak sebanding dengan pengorbanan yang sudah putri bapak lakukan terhadap bapak dan ibu” Narsih pun menjawab tak kalah keras. “maksud kamu???” Risca menimpali.
“Maksud saya ini!!” narsih mengeluarkan surat yang selalu dibawanya kemanapun dia pergi.
Tak tau kenapa, tangan Risca tiba-tiba bergetar saat menerima surat itu. Perlahan dia membuka amplop itu. Matanya terbelalak, ada poto dirinya dan suaminya di dalam amplop itu. Ada beberapa lembar kertas juga. Risca dan Dharma membacanya
Selamat pagi Ayah, Bunda, apa kabar?? Maafin Nirma karena berani muncul di depan kalian. Nirma hanya ingin minta maaf, atas apa yang sudah Nirma lakuin.
Ayah, Bunda terima kasih karena telah melahirkan Nirma ke dunia ini, Nirma tahu kelahiran Nirma tak pernah membuat Ayah dan Bunda bahagia. Kelahiran Nirma Cuma membuat kalian menanggung malu. Tapi jujur saja, Nirma juga tak pernah ingin terlahir cacat.
Ayah, Bunda, maaf Nirma tak bisa memberikan apa-apa untuk kalian, Nirma berikan sebuah Ginjal Nirma untuk ayah dan kedua kornea mata Nirma untuk Bunda. Semoga itu bisa sedikit menebus kesalahan besar yang pernah Nirma lakuin, berani terlahir ditengah keluarga terpandang seperti keluarga kalian, itu kesalahan terbesar Nirma.
Ayah, Bunda, terima kasih sekali lagi, karena telah melahirkan seorang adik yang begitu cantik. Sekali ketemu, Nirma langsung menyayanginya. Radya cantik persis seperti bunda.
Maaf kalau kepanjangan. Nirma pamit ya Ayah, Bunda dan juga Radya. Sekarang hidup kalian sudah bebas, kalian tak perlu malu lagi, Nirma sudah pergi jauh dari muka bumi ini. Tapi sebelum terlambat, Nirma hanya pingin bilang satu hal, meskipun tubuh Nirma cacat, tapi kasih sayang dan bakti Nirma untuk Ayah dan Bunda tak pernah cacat.
Selamat tinggal Ayah, Bunda dan Radya. Terima kasih atas semuanya.
Buat Ibu Narsih, terima kasih atas kasih sayangnya selama ini, Nirma sayang ibu selamanya.

Love
NRDP

Airmata berlinang di pipi Risca, Dharma dan juga Radya, kaki Risca lemas, dia minta bi Narsih mengantarnya ke kuburan Nirma.

Senja turun, semburat berwarna jingga terlihat sendu di ufuk barat, Narsih dan keluarga mantan majikannya berjalan menyusuri pekuburan yang begitu luas menuju sebuah makan yang terlihat masih baru.
Gundukan tanah itu masih bertabur bunga segar, bertanda setiap hari masih ada yang berkunjung ke makam itu.
Risca terduduk lemas diatas makan, dia menatap nama cantik yang tersemat di nisan
“Nirma Risca Dharma Putri”
Lahir 2 Januari 1997 wafat 5 maret 2012


Mereka semua tak kuasa menahan tangis, penyesalan besar pun tak ada gunanya. Dharma begitu hancur begitupun Risca, anak mereka yang mereka anggap begitu menjijikkan ternyata mampu berbakti dan berkorban nyawa untuknya. Untuk orang tua yang sudah berniat membunuhnya.


The End

Tidak ada komentar:

Posting Komentar